Sepak Bola dan Orde Baru
Kebijakan Orde Baru yang sentralistis berimplikasi juga pada ranah sepak bola. Sepak bola disentralisasi di pusat pemerintahan provinsi.
Para pengurus klub umumnya berasal dari pejabat pemerintahan provinsi, ibu kota provinsi, dan pejabat militer di daerah. Tentu saja alasannya adalah sepak bola menjadi ajang konsolidasi politik dan rakyat dijinakkan melalui olahraga paling populer itu.
Ini bisa dipahami dengan pemikiran Max Weber. Max Weber dalam hal ini merupakan rujukan yang tepat dalam membahasa tindakan/aksi sosial, Max menjelaskan teori-teori mengenai tindakan sosial ini.
Menurutnya, Semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seseorang bisa dianggap sebagai tindakan/aksi sosial jikalau prilaku tersebut dengan catatan mampu menjadi pertimbangan/pengaruh kepada perilaku orang lain, serta berorientasi pada perilaku kepada kelompok masyarakat lainnya.
Bahwa segala perilaku yang dilakukan oleh seseorang dianggap memiliki nilai secara subjektif bagi pelakunya maka disebut sebagai tindakan sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa Max Weber mendalami tentang tindakan sosial akan memiliki akibat tertentu serta memberikan corak pada setiap individu atau masyarakat.
Max Weber: 4 Tindakan/Aksi Sosial
(1) Tindakan rasional, atau lebih dapat dipahami sebagai tindakan instumental bertujuan, artinya kita memikirkan untuk mencapai sesuatu, melakukan sesuatu setelah dipertimbangkan demi mencapai sesuatu tujuan yang sudah kita pikirkan sebelumnya.
(2) Tindakan nilai, mempertimbangkan untuk melakukan sesuatu atas dasar nilai sesuatu itu, artinya kita melakukan sesuatu biasanya mempertimbangkan baik buruknya, bermanfaat atau tidaknya, susah atau gampangnya atau merugikan atau tidaknya sesuatu itu. Dalam pertimbangan nilai ini untuk melakukan tindakan biasanya kita memakai barometer agama, norma, budaya dan lainya. Misalnya mendasari tindakan atas nilai agama, terasa seperti tidak sopan dan tidak baik jika makan dengan tangan kiri.
(3) Tindakan emosional, sesuai dengan tipenya yang mendasari tindakan atas dasar emosional artinya kita melakukan tindakan/aksi sosial karena emosional yang mempengaruhi atau melatar belakangi, emosional disini bukan pada hal rasional tapi lebih kepada perasaan yang memperngaruhi tindakan, seperti simpati, cinta, marah, kasihan, simpati, sedih, bahagia, benci, seperti manusia bertindak memberikan makanan atau sedekah ketika melihat seorang gelandangan di pinggir jalan sambil membawa anak yang didasari atas emosional kasihan atau simpati kepada gelandangan itu, dan
(4) tindakan tradisional, tindakan ini tentu didasarkan kepada tradisi, adat istiadat atau budaya, tindakan ini terjadi sebab suatu tindakan yang bersifat repetitif atau berulang kali dilakukan hingga menjadi sebuah kebiasaan tradisi.
Keempat tipe itu menjadi dasar dalam bertindak dan memahami dasar tindakan sosial yang dipaparkan oleh Max Weber.
Ultras
Memerhati para ultras, mereka sembari berjalan, mereka bernyanyi dengan lantang dan masuk ke tribun stadion. Di dalam stadion, mereka tidak berhenti melantunkan chant. Di bagian depan tribun, sekelompok fans mengibarkan bendera raksasa.
Mereka juga melemparkan roll paper ke tengah lapangan, menyalakan suar berwarna warni bahkan terkadang petasan, dengan koreografi terstruktur dan terpimpin, pakaian yang seragam dan beberapa lagi bahkan mengecat dirinya sesuai warna klub kebanggaannya itu.
Tentu globalisasi sepak bola pula menjadi jembatan bagi masuknya gaya ultras di kalangan fans sepak bola di Indonesia.
Bayangkan saja jika konsolidasi sekompak dan sebuas ultras ini diadopsi oleh kalangan gerakan.
Ultras memiliki militansi nan amat besar bahkan nyawa terpertaruhkan. Mereka mengetahui di mana posisi-posisi mereka masing-masing.
Mereka berkumpul, berlatih chants, membuat koreografi dan ada yang mengkoordinir setiap barisan.
Bayangkan sebuah aksi besar terkoordinir di stadion-stadion apalagi di GBK. Layaknya apa yang pernah dilakukan Lula da Silva si tukang semir yang memutuskan masuk ke dunia politik akibat dari kurangnya keterwakilan dari kelompok pekerja.
Profil Lula da Silva
Pemilik nama lengkap Luiz Inácio Lula da Silva ini lahir pada 27 Oktober 1945 di Caetés, sebuah kota kecil di negara bagian Pernambuco.
Lula lahir dari keluarga sangat miskin. Ayahnya bernama Aristides Inácio da Silva, seorang penganggur yang tiap hari menenggak alkohol hingga mabuk. Keluarganya hanya ditopang sendirian oleh ibunya, Dona Lindu, seorang pekerja keras dan kaya ajaran moral.
Tekanan kemiskinan itulah yang memaksa keluarga Lula pindah ke Guarujá, sebuah kota kecil di negara bagian Sao Paulo. Perjalanan mereka yang memakan waktu 13 hari, dengan menumpang mobil bak terbuka, disebut “jalan menuju kebahagiaan”.
Namun, Sao Paulo, kota terbesar di Brazil itu, tidak menyambut Lula dan keluarga dengan kebahagiaan. Ibunya menghidupi anak-anaknya dengan memunguti beras yang jatuh di gudang penggilingan.
Lula kecil sempat mengenyam pendidikan dasar. Dia anak yang cerdas. Namun, baru menginjak kelas empat, kemiskinan memaksanya meninggalkan bangku sekolah.
Lula kecil jadi anak jalanan. Dari tukang semir sepatu hingga pedagang asongan. Beranjak remaja, dia sempat bekerja di usaha laundry pakaian. Tetapi pekerjaan itu hanya cukup untuk membuatnya bisa bertahan hidup, tidak cukup untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik.
Tetapi Lula kecil, seperti anak-anak Brazil pada umumnya, sangat menyukai sepak bola. Dia selalu menempati posisi sebagai striker dengan nomor punggung 9. Hingga jadi Presiden, Lula tetap menyelipkan waktu untuk menikmati pertandingan sepak bola.
Di usia 14 tahun, Lula mencoba peruntungan nasib dengan mengikuti kursus Kerja di pelatihan kerja di National Industrial Learning Service (SENAI)—semacam Balai Latihan Kerja (BLK) di Indonesia.
Tahun 1961, dia lulus dan mendapat sertifikat sebagai operator bubut. Dia kemudian bekerja di sebuah pabrik suku cadang mobil. Sayang, di usia 19 tahun, akibat kecelakaan kerja di pabri itu, Lula kehilangan jari kelingkingnya.
Begitu bergaji, Lula menikahi pacarnya, Maria de Lurdes. Keluarga mereka sangat bahagia. Namun kebahagiaan itu tidak panjang. Ketika melahirkan anak pertamanya, Lurdes meninggal dunia. Lula sangat terpukul oleh kejadian itu.
Lula mengenal gerakan buruh dari kakaknya, Frei Chico, seorang aktivis serikat buruh kiri. Dia kemudian bergabung dengan serikat buruh metal São Bernardo.
Tahun 1964, Brazil jatuh ke tangan diktator militer. Demokrasi ditebas. Kebebasan berserikat, termasuk serikat buruh, dibatasi dan dikontrol ketat.
Di masa itulah pelan-pelan Lula merangkak naik sebagai tokoh gerakan buruh. Di tahun 1969, dia sudah jajaran kepemimpinan Serikat Buruh Metal São Bernardo de Campo. Tahun 1975, dia terpilih sebagai Presidennya. Serikat buruh yang dipimpinnya punya anggota ratusan ribu.
Lama-kelamaan, Lula makin radikal. Di akhir 1970-an, akibat resep ekonomi IMF, ekonomi Brazil memburuk. Pemogokan buruh meletus di mana-mana. Termasuk di kawasan industri yang disebut “Kawasan ABC”, yang meliputi São Bernardo, Santo André, dan São Caetano do Sul.
Imajinasi Lula
Tahun 1979, Lula hadir menyaksikan pertandingan sepak bola antara Corinthians versus Guarani di stadion Morumbi. Dia terpukau dengan jumlah penonton yang membludak. Dalam imajinasi Lula, bagaimana kalau penonton itu adalah buruh yang sedang mogok.
Rupanya, Lula ingin membumikan imajinasinya itu. Di tahun itu juga dia mengorganisir pemogokan buruh metalurgi. Aksinya dilakukan di stadion Vila Euclides di São Bernardo. Karena ketakutan, rezim militer menindas pemogokan itu.
Di situlah ketokohan Lula makin menjulang. Dia berorasi tanpa pengeras suara, tetapi orang terpukau mendengarnya. Suaranya menggelegar sekalipun tanpa pelantang. Gaya dan isi orasinya punya daya pikat. (https://www.berdikarionline.com/jalan-politik-lula-da-silva)
Aksi Kita Hari Ini
Selain konsolidasi yang mampat, kesibukan para kader organ dalam kerja administratif, kerja-kerja formil/non-formil, upaya memasuki ranah politik melalui lobi-lobi lintas gerakan dan turun ke basis-basis massa, menjadikan kekuatan dari aksi kian melemah.
Ke mana partai rakyat kemudian bekerja? ke mana mereka ketika isu pengesahan undang-undang RKUHP mengancam rakyat banyak?
Kenapa tidak satukan kesemua itu paska lobi-lobi, berangkatkan semua ke Gelora Bung Karno misalnya dan sampaikan orasi-orasi penuh bara apimu itu?
Atau setidaknya di stadion-stadion kecil di kota-kota sebagai awal permulaan.
Demi Odin, Weber dan Marx! Aksi-aksi kita masih bernilai nihil dan tetap saja bagi penulis, belum ada konsolidasi yang lebih baik daripada kelompok ultras. Kenapa tidak kita adaptasi?
Terkait
DEI dan Penghapusan Diskriminasi di Dunia Kerja
Review Film “Home Sweet Loan”: Potret Realitas Kelas Menengah Jakarta
Bincang SuPer: Retno Kustiyah Aktivis Anti Bullying