Terlahir di negara dengan mayoritas masyarakat yang menganut tradisi patriarki membuatku sudah sangat akrab dengan tradisi yang satu ini. Lahir dan tumbuh besar bersama orang-orang di sekitar dengan pemikiran patriarki yang sangat kuat.
Membuatku dapat melihat dan merasakan bagaimana sadisnya tradisi patriarki di dalam kehidupan bermasyarakat, betapa tradisi itu sangat mendewakan laki-laki dan merendahkan, memperbudak, bahkan terkadang tidak menghargai sama sekali jasa-jasa para perempuan. Misalnya :
Perempuan mengandung susah payah selama sembilan bulan dan kemudian melahirkan dengan bertaruh nyawa, namun ketika bayinya lahir sering kali sang anak memakai nama belakang, nama keluarga, atau marga dari ayahnya saja pada namanya seakan-akan anak tersebut hanyalah anaknya ayah.
Tidak ada hal-hal yang menyangkut tentang ibunya pada nama lengkapnya meskipun sebenarnya ibunya lah yang mempertaruhkan hidup dan matinya demi lahirnya si anak ke dunia.
Perempuan di tuntut untuk selalu berbicara lembut kepada laki-laki, tidak boleh kasar, apalagi menghina dan merendahkan harga diri laki-laki.
Namun sebaliknya, laki-laki boleh berkata kasar kepada perempuan, membentak, menghina, bahkan merendahkan harga diri perempuan.
Dan masih banyak lagi.
Mirisnya, meskipun tradisi patriarki sebenarnya terasa sangat tidak adil untuk para perempuan, namun mayoritas masyarakat pada umumnya terus melestarikannya secara turun temurun.
Seakan-akan didikan patriarki tersebut merupakan ajaran yang paling benar di dalam kehidupan bermasyarakat.
“Mengapa tradisi patriarki di katakan sangat mendewakan laki-laki dan memperbudak perempuan?”
Sebelum membahas lebih jauh mengenai tradisi patriarki, tentu saja terlebih dahulu kita harus mengetahui apa sebenarnya definisi dari kata patriarki tersebut.
Patriarki (Wikipedia) adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam banyak peran kepemimpinan.
Sebagaimana definisinya, sistem ini mengistimewakan laki-laki dan menempatkan posisi perempuan di bawah laki-laki.
“Apa sajakah contoh-contoh ketidakadilan ajaran patriarki di dalam kehidupan sehari-hari?”
1. Dalam tradisi patriarki, harga diri laki-laki di anggap lebih tinggi daripada perempuan dalam segala keadaan, situasi, dan kondisi.
Anggapan bahwa harga diri laki-laki lebih tinggi daripada perempuan membuat perempuan memiliki rasa takut terhadap laki-laki dan tidak berani menegur ketika seorang laki-laki berbuat salah.
Perempuan dianggap tidak punya kuasa untuk menegur, apalagi menasehati laki-laki.
Perempuan dididik untuk bersabar dalam menghadapi segala kelakuan laki-laki, tidak boleh berkomentar, dan tidak boleh mengeluarkan pendapatnya.
Akibatnya laki-laki sering tidak tau apa kesalahannya dan tidak menyadari bahwa dirinya sudah berbuat sesuatu yang salah.
Didikan yang sangat tidak adil ini biasanya sudah ditanamkan oleh orang tua kepada anak-anaknya sejak mereka (anak-anak) masih kecil.
2. Laki-laki bebas mengeluarkan segala pendapat dan keinginannya terhadap perempuan, juga menuntut perempuan dengan segala macam tuntutan yang mereka inginkan.
Namun perempuan tidak dibenarkan untuk menuntut laki-laki dan mengeluarkan pendapat jika pendapatnya tersebut dinilai dapat menjatuhkan harga diri seorang laki-laki.
Tradisi patriarki tidak mengenal adanya kesetaraan gender. Karena itu, laki-laki boleh menuntut dan mengomentari perempuan, namun sebaliknya, perempuan tidak boleh menuntut macam-macam terhadap laki-laki.
Misalnya :
Dalam kehidupan rumah tangga, laki-laki boleh mengomentari masakan istri yang belum sempurna rasanya atau sajian menu sehari-hari yang tidak bervariasi agar perempuan / istri segera belajar untuk menyempurnakan kepandaiannya sebagai istri demi menyenangkan suaminya.
Menurut laki-laki patriarki, menyenangkan suami merupakan kewajiban seorang perempuan yang sudah berstatus seorang istri.
Namun perempuan / istri tidak boleh menuntut suami yang gaji / pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangga dan membuat mereka harus hidup dalam kekurangan.
Meskipun hal tersebut merupakan tanggung jawab seorang suami, namun seringnya istri tidak di benarkan untuk menuntut suaminya dengan alasan menjaga harga diri suami yang lebih tinggi daripada istri.
Perempuan di tuntut untuk mahir mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga (masak, mencuci pakaian, menyetrika, membereskan rumah, menjaga dan mengurusi segala keperluan anak, dan lain-lain) dengan alasan bahwa semua pekerjaan tersebut merupakan tugas seorang perempuan.
Bahkan sejak kecil anak-anak perempuan sudah diajarkan dan dibiasakan untuk mengerjakan semuanya agar ketika mereka sudah menikah maka anak-anak perempuan sudah memiliki semua keahlian tersebut untuk dapat menyenangkan dan membahagiakan laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti.
Namun anak laki-laki tidak di didik untuk menjadi manusia yang berkualitas juga seperti halnya didikan terhadap perempuan.
Meskipun nantinya semua urusan keuangan merupakan tanggung jawab laki-laki ketika sudah berstatus sebagai seorang suami dan kepala rumah tangga, namun para anak laki-laki sebelum mereka menikah seringnya tidak di ajarkan dan tidak dibiasakan untuk mahir dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya tersebut.
Laki-laki biasanya tidak di wajibkan untuk bertanggung jawab terhadap keluarga dan saudara-saudara perempuannya dalam urusan keuangan, berbeda halnya dengan anak perempuan yang harus bertanggung jawab untuk mengurusi semua pekerjaan rumah tangga dan melayani saudara laki-lakinya.
Tidak adanya kewajiban untuk menanggung kehidupan saudara-saudara perempuannya membuat laki-laki sering kali belum mapan ketika akan berumah tangga dan malah menuntut perempuan yang akan menjadi istrinya untuk bisa menerima dirinya apa adanya meskipun mereka harus hidup serba kekurangan.
Meskipun dirinya belum berkualitas ketika akan menikah, laki-laki patriarki sering kali menginginkan perempuan harus sudah berkualitas (sudah mahir dalam urusan pekerjaan rumah tangga agar bisa menyenangkan suami) ketika akan menikah dengan dirinya.
Biasanya laki-laki dengan pemikiran patriarki yang kuat tidak bisa menerima perempuan yang belum berkualitas meskipun dirinya sendiri sebagai laki-laki sebenarnya belum berkualitas juga.
3. Tugas perempuan ketika telah menjadi seorang istri adalah menyenangkan laki-laki yang merupakan suaminya. Tetapi laki-laki yang merupakan seorang suami jarang di tuntut dengan hal yang sama (untuk menyenangkan istrinya).
4. Perempuan yang telah menjadi seorang istri harus takut pada suami dan mematuhi segala perintah suaminya, bukan suami yang harus takut pada istri.
5. Tugas laki-laki (suami) hanyalah bekerja di luar rumah. Karena laki-laki dianggap sudah capek bekerja di luar, istri tidak dibenarkan untuk menyuruh suaminya membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (meskipun sebenarnya mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga juga sama capeknya).
6. Dirumah mertuanya (orang tua laki-laki), perempuan / istri sering diperlakukan seperti pembantu rumah tangga yang harus mengurusi segala pekerjaan domestik yang ada karena pekerjaan domestik dianggap merupakan tanggung jawab perempuan.
Namun sebaliknya ketika laki-laki / suami yang sedang berada dirumah mertuanya (orang tua perempuan). Laki-laki / suami ketika berada dirumah mertuanya tidak pernah di tuntut harus bertanggung jawab atas apapun.
Jika istri dituntut untuk harus mengerjakan segala pekerjaan domestik yang ada di rumah keluarga laki-laki dengan alasan bahwa pekerjaan domestik merupakan tanggung jawab perempuan, maka seharusnya laki-laki juga dituntut untuk membiayai kehidupan anggota keluarga dari pihak istrinya itu dengan alasan yang sama, bahwa membiayai keluarga merupakan tanggung jawab laki-laki.
7. Perempuan ketika sudah menjadi istri di tuntut untuk bisa masak masakan sesuai dengan bagaimana selera suaminya, dan selera suami biasanya sama dengan bagaimana rasa masakan yang di masak oleh ibunya (mertua istri).
Bukannya mengajarkan laki-laki untuk membiasakan diri bahwa ibu dan istrinya adalah dua orang berbeda dengan selera yang terkadang juga berbeda, namun tradisi parriarki malah menuntut istri untuk mengutamakan selera suaminya daripada seleranya sendiri meskipun dirinyalah yang memasak makanan tersebut.
Jika laki-laki / suami menuntut istrinya untuk harus menyenangkan dirinya sebagaimana apa yang dilakukan oleh ibunya (mertua istri), maka semestinya perempuan / istri juga boleh menuntut suaminya itu untuk menyenangkan dirinya sebagaimana apa yang dilakukan oleh ayahnya (mertua laki-laki), bagaimana ayah dari perempuan tersebut menghidupi anak perempuannya dengan layak, memberi semua yang dibutuhkan oleh anak perempuannya, tidak membiarkan anak perempuannya hidup dalam kekurangan, dan lain-lain.
Namun sayangnya, dalam tradisi patriarki hanya laki-laki yang boleh menuntut perempuan, tidak sebaliknya.
8. Perempuan sering dituntut untuk harus bisa bekerja dan cari uang juga seperti laki-laki dan jangan bergantung pada suaminya saja, padahal sebenarnya mencari nafkah untuk keluarga merupakan tugas dan tanggung jawab seorang laki-laki.
Sayangnya, ketika perempuan dituntut untuk harus bekerja juga seperti laki-laki, tapi laki-laki tidak dituntut untuk harus bisa mengerjakan seluruh pekerjaan domestik yang biasa dikerjakan oleh perempuan. Laki-laki / suami ketika pulang kerja harus dibiarkan istirahat, tapi perempuan / istri yang bekerja diluar dan merasakan lelah yang sama sepulang dari bekerja, tetap harus melayani suami dengan segala keperluannya dan ditambah lagi harus merampungkan semua pekerjaan domestik yang belum terselesaikan karena tadi ia harus bekerja diluar rumah.
Dan lain-lain.
“Bagaimana sikap laki-laki dan perempuan patriarki ketika mereka menjadi orang tua?”
Laki-laki dan perempuan yang dibesarkan dengan ajaran patriarki biasanya akan memberi didikan yang sama kepada anak-anak mereka sesuai dengan bagaimana didikan yang mereka dapatkan dari orang tua mereka dahulu.
Ketika orang tua mereka dahulu mendidik dan memperlakukan anak-anak laki-laki seperti raja yang harus selalu di layani segala keperluannya, maka seperti itu jugalah biasanya para orang tua patriarki akan memperlakukan anak-anak laki-lakinya.
Dan ketika orang tua mereka dahulu mendidik dan mengajarkan anak-anak perempuan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah dan harus menerima bagaimana dirinya yang berjenis kelamin perempuan tersebut dianggap lebih rendah daripada saudara laki-lakinya dalam berbagai hal, maka seperti itu jugalah biasanya para orang tua patriarki akan bersikap terhadap anak-anak perempuannya.
Seorang ibu yang dibesarkan dengan didikan patriarki tak akan pernah mengupayakan adanya kesetaraan gender antara anak-anaknya, antara anak laki-laki dan anak perempuan. Dan seorang ayah yang dibesarkan dengan didikan patriarki juga umumnya tak akan pernah membiarkan adanya kesetaraan gender dalam keluarganya.
“Bagaimana cara didik terhadap anak laki-laki dan perempuan dalam tradisi patriarki?”
Ayah / suami patriarki biasanya memiliki karakter yang egois, merasa lebih hebat dan harga dirinya lebih tinggi daripada perempuan / istrinya, juga merasa bahwa dirinya (laki-laki) adalah kepala keluarga dan pemimpin yang harus dipatuhi dan dilayani. Sementara ibu / istri patriarki pada umumnya memiliki karakter yang penurut dan patuh terhadap apa saja perintah suaminya.
Seorang ayah patriarki biasanya berpendapat bahwa seluruh pekerjaan dirumah merupakan tugas dan tanggung jawab istri dan anak-anak perempuannya, dan ibu / istri patriarki biasanya selalu setuju dengan pendapat seperti itu dan mendidik anak-anak perempuannya untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga sama seperti apa yang dilakukan dirinya dalam kehidupan rumah tangganya.
Ayah / suami patriarki biasanya mendidik anak laki-lakinya untuk berpikir dan merasa bahwa seorang laki-laki memang harus seperti dirinya.
Anak laki-laki di didik untuk tidak boleh mengerjakan pekerjaan yang ada di rumah karena hal tersebut dapat menjatuhkan harga dirinya seorang laki-laki. Ia akan terlihat hina jika ikut mengerjakan pekerjaan di rumah seperti apa yang dilakukan oleh saudara-saudara perempuannya.
Namun kepada anak-anak perempuan adalah sebaliknya, ayah dan ibu patriarki selalu menegaskan bahwa anak perempuan harus mengerjakan seluruh pekerjaan di rumah tanpa alasan apapun. Didikan seperti itu bahkan terkadang sudah dibebankan oleh orang tua patriarki terhadap anak-anak perempuannya sedari mereka masih berusia dini.
Ketika anak perempuan tersebut sudah dewasa dan memiliki aktifitas pribadinya (misalnya bekerja diluar rumah), sebelum pergi bekerja, anak perempuan biasanya di didik untuk harus menyelesaikan tugas-tugas dirumah terlebih dahulu baru kemudian pergi bekerja.
Tapi meskipun sebelum pergi bekerja rumah telah dirapikan dan seluruh tugas telah rampung di kerjakan, ketika anak perempuan kembali pulang kerumah setelah bekerja dan ternyata ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, maka anak perempuan jugalah yang harus mengerjakannya dan tidak boleh mengeluh meskipun lelah terhadap tugas yang telah menantinya dirumah.
Meskipun ia juga punya pekerjaan diluar rumah dan kedua beban pekerjaan (dirumah dan diluar rumah) itu sering membuat lelah dan cukup menyita waktu dalam kesehariannya, namun anak perempuan harus bisa membagi waktunya agar kedua pekerjaan itu bisa tetap diselesaikan tanpa ada yang terabaikan.
Anak perempuan juga di didik dan dibiasakan untuk selalu bangun pagi lebih awal daripada saudara laki-lakinya karena ada banyak tugas dirumah yang harus ia kerjakan.
Begitu juga ketika akan tidur di malam hari, anak perempuan harus menyelesaikan tugas-tugasnya terlebih dahulu sebelum pergi tidur.
Sering anak perempuan tidur lebih lama daripada anak laki-laki karena ia harus menyelesaikan tugas-tugas yang ada terlebih dahulu, namun mirisnya anak-anak perempuan juga diharuskan bangun pagi lebih awal daripada saudara-saudara laki-lakinya.
Pada kasus orang tua yang teramat patriarki, meskipun terkadang anak perempuan sedang sakit, namun hal itu tak membuatnya terbebas dari beban tugas-tugas yang ada di rumah.
Ia tidak boleh mengeluh dan tetap harus menyelesaikan tugas dan tanggungjawabnya di rumah bagaimanapun kondisinya, karena menurut orang tua patriarki, anak laki-laki tidak pantas menggantikan anak perempuan untuk mengerjakan semua pekerjaan rumah yang biasa dikerjakan oleh saudara-saudara perempuannya.
Anak perempuan harus pandai membagi waktu untuk beristirahat (karena sedang sakit) dan mengerjakan semua tugas-tugas yang sudah menantinya.
Hal ini sangat berlawanan dengan didikan terhadap anak laki-laki. Anak laki-laki tidak dibebankan tugas apapun di rumah.
Semua pekerjaan dirumah harus dikerjakan oleh saudara-saudara perempuannya. Ia hanya bekerja diluar rumah dan tidak peduli pada pekerjaan apapun yang ada dirumah.
Seringkali ditemukan dalam sebuah keluarga patriarki, orang tua tidak peduli dan membiarkan anak-anak perempuannya yang mengerjakan seluruh pekerjaan dirumah meskipun anak perempuan tersebut memiliki aktifitas lainnya diluar rumah dan sangat kerepotan mengerjakan tugasnya yang dobel (dirumah dan diluar rumah).
Sementara anak laki-laki meskipun sedang berada di rumah dan memiliki waktu luang yang sangat banyak, namun anak laki-laki tidak dibebankan untuk mengerjakan pekerjaan apapun dan tidak di didik untuk membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dirumah.
Orang tua patriarki akan membiarkan anak laki-lakinya untuk menghabiskan waktu yang dimiliki dengan melakukan kegiatan yang disukainya, misalnya tidur, main game seharian, pergi dan pulang ke rumah sesuka hatinya tanpa ada aturan waktu, dan kegiatan-kegiatan lainnya tanpa mempedulikan bagaimana saudara-saudara perempuannya harus mengerjakan seluruh pekerjaan yang ada dirumah.
Karena mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dianggap merupakan tugas dan tanggung jawab anak perempuan, ketika orang tua mendapati rumahnya dalam keadaan yang tidak rapi dan banyak pekerjaan rumah belum selesai, biasanya orang tua akan marah pada anak-anak perempuannya tanpa peduli apa alasan dibalik keadaan rumah yang seperti itu. Orang tua patriarki biasanya akan berpikir :
“Percuma punya anak-anak perempuan, tapi rumah tidak ada rapinya.”
Pada intinya, orang tua patriarki baik ayah ataupun ibu, biasanya sepemikiran bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dalam segala hal, dan perempuan harus mematuhi apa saja perintah laki-laki, melayani, dan tidak boleh menentang dalam segala hal. Meskipun sebenarnya sangat tidak adil, namun seperti itulah mayoritas orang tua patriarki dalam mendidik anak-anaknya.
~bersambung. . .
***(Oothye)
Terkait
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif
Sisi Gelap Pendidikan Kedokteran di Indonesia