Pandangan masyarakat kita yang dipengaruhi oleh budaya patriarkhi seringkali memberi rasa tidak adil terhadap perempuan yang menyandang status janda. Sebutan ‘janda gatal’ dan ‘perebut suami orang’ seringkali dialamatkan kepada janda.
Walaupun sama-sama berstatus janda, perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya atau karena cerai mati dianggap lebih bermartabat oleh masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang menyandang status janda karena cerai hidup. Tokh demikian, cap buruk selalu saja ditimpakan kepada mereka yang berstatus janda. Setidaknya hal inilah yang dialami oleh Rosma.
Kisah Rosma
Rosma adalah seorang anak nelayan miskin di pulau Satando, desa Mattiro Baji kabupaten Pangkajene Kepulauan. Setamat SMP, Rosma dijodohkan oleh orang tuanya dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya. Belum lama menikmati masa-masa indah berumah tangga dia ditinggal mati oleh suaminya karena sakit.
Rosma dan keluarga tidak mengetahui secara jelas apa penyakit suaminya. Yang dia tahu bahwa suaminya menderita sakit dikepalanya dan berobat ke bidan desa. Hal itu karena sarana kesehatan dan dokter tidak ada di pulau Satando. Oleh sang bidan, penyakit suaminya dibilang liver dan diberi obat yang menurut ukuran keluarga nelayan kecil ini sangat mahal harganya. Yakni sekitar Rp. 250.000/resep.
Sayang seribu sayang, nasib malang menimpa keluarga Rosma. Sang suami tercinta mati di usia yang sangat muda. Sedih tak terkira, begitulah yang di derita Rosma atas kematian suami tercintanya.
Semenjak suami meninggal Rosma tinggal bersama orang tua yang sehari-harinya nelayan miskin dan berpenghasilan rendah Untuk meringankan beban orangtuanya, dia berbisnis menjual pulsa dengan keuntungan Rp 3.000 – Rp. 5.000/hari.
Hubungan Rosma dengan mertua serta keluarga suaminya tidak begitu bagus. Dia dijauhi keluarga suaminya dan dikatakan sebagai perempuan pembawa sial. Mereka menganggap bahwa dialah perempuan pembawa sial yang menyebabkan kematian suaminyamati muda.
Tak jarang Rosma harus menahan sakit hatinya ketika tetangga usil memberi predikat “janda gatal” dan “perebut suami orang” tanpa disertai fakta dan penuh syak wasangka.
Masalah Perempuan
Sekelumit cerita sedih tersebut terungkap pada sesi Pemetaan Masalah Perempuan yang merupakan salah satu materi dari Sekolah Perempuan Udang di Pulau Satando Desa Mattiro Baji Kabupaten Pangkajene Kepulauan Sulawesi Selatan.
Sessi ini merupakan materi awal dari Modul Pendidikan Adil Gender yang menjadi panduan dari Sekolah Perempuan yang dikembangkan oleh Institut KAPAL Perempuan. Tujuan dari sessi pemetaan masalah perempuan adalah untuk menumbuhkan kesadaran perempuan bahwa dirinya mengalami ketidakadilan akibat konsep gender yang berlaku di masyarakat.
Kesadararan ini menjadi modal penting agar perempuan dapat bertindak untuk berusaha melepaskan dirinya dari situasi ketertindasan tersebut. Sessi ini mengantarkan peserta Sekolah Perempuan untuk mengenal konsep gender yang akan dibahas lebih dalam pada sessi selanjutnya. (*)
Oleh: Siti Rubaidah
Terkait
Literasi Keuangan: Bijak Meminjam, Waspada Jerat Pinjol Ilegal
Kepemimpinan Perempuan, Menuju Maluku Utara Adil Makmur
Ibu Bumi, Darah Perempuan, Sebuah Seruan Perubahan