Gemuruh terdengar jelas, dibalik dinding pembatas gubuk kecil, sepasang kekasih sedang memadu kasih. Dengan segenap rasa penuh harap agar kelak hidup bersama, dalam penantian yang lebih panjang.
Malam itu pukul 01.35, tepatnya Senin malam, semuanya menjadi kelam. Tapi bukan gelap, sebab masih ada rembulan di atas atap.
Raih namanya. Kekasihku, dia juga salah satu dari sekian laki-laki yang cukup pemalu. Namun dengan sikapnya penuh antusias, dapat menutupi beberapa kekurangannya, juga hal yang paling rahasia sekalipun yaitu “memaksanya” demikian orang-orang pada umumnya bukan, tidak suka dipaksa?
Aku dan Raih duduk berdampingan, juga saling usik-mengusik satu sama lain. Malam itu adalah, malam dua hari sebelum ia bepergian ke luar kota. Untuk menghabiskan beberapa kebersamaan, aku diajak bertemu dan bercerita beberapa ketentuan untuk saling memahami dalam kejauhan.
Sontak aku terkejut dalam diam, bunyi apa itu ? “Aku bergumam dalam hati,” Tanpa bertanya atau menegur sapa pada kekasihku yang berdampingan itu, lalu menebak-nebak dalam kebingungan pada malam tanpa kebisingan . Setelah beberapa menit, Raih pergi menjauh dari ku, dan melangkah menuju tirai jendela, kemudian membuka serta mengamati sekitar pekarangan rumah. Ia pun mendengar ada sentakan jejak langkah, untuk kedua kalinya sama hal dengan yang baru saja terdengar olehku. Namun tak ada siapa-siapa dibalik sentakan itu, ada apa ini ? “Pertanyaan yang sama, antara aku dan Raih tanpa ungkapan satu sama lain”.
Aku masih berdiam diri di atas kasur, sambil menulis beberapa perjalanan menuju pulang, dalam catatan harian penuh keabadian. Karena bagiku, menulis adalah cerita yang tak pernah usai. Pena itu terhenti seketika, pada lembaran yang masih kosong. Sebab aku dibalut oleh kecemasan, dan kegelisahan memandang raih dari kejauhan begitu ketakutan. Tiba-tiba penglihatanku mengarah pada meja, di sana ada terisi sebuah buku bersampul dihiasi berbagai warna, laksana pelangi. “Ada apa dengan Seks” judul buku yang menarik penglihatan sekilas, juga menghipnotis dan aku pikir harus membacanya! Tanpa menghiraukan Raih yang begitu sibuk dengan gemuruh, tak tahu dari mana asalnya. Sampai-sampai aku belum juga sempat, mempertanyakan milik siapa buku ini? Sebab disana Raih sedang ketakutan dibalik jendela. Aku keheranan dibuatnya, dari kejauhan bola mataku tetap menatapnya, tanpa sedikit pun memalingkan wajah.
Kucoba merayunya, sambil memanggil-manggil agar ia tak ketakutan.
“Raih… Ayo kesini !”
Namun ia tak menggubrisnya, dan masih saja menatap keluar jendela. Dengan keringat yang bercucuran, sambil berucap “Aku ingin kembali ke rumah, aku merasa tidak aman berada disini.” Raih berucap padaku, yang sedang menikmati kebersamaan tanpa kenyamanan atas dirinya.
Yah… Aku keheranan bukan main, kenapa tiba-tiba ia berucap seperti demikian. Aku pun sontak bertanya “Ada apa Raih? Ada apa denganmu?”
Ia refleks, lalu mengucap sepatah kalimat dengan nada sedikit tinggi “Kau tak pernah tahu, bahwa aku pernah dijebak perempuan.”
Sekonyong-konyong dirinya terdiam seribu bahasa, dan tidak melanjutkan ucapannya.
Aku kemudian tak memaksa atau, menyuruhnya bercerita tentang dia dan seseorang yang pernah menjadi tokoh utama, dalam kisah kasih mereka.
Aku pikir dunia terasa milik bersama setelah beberapa waktu bercumbu mesra bersamanya. Namun tidak pada kenyataannya. Ia masih diterkam masa lalu, peristiwa yang mengendap itu perlahan-lahan timbul dari dasar ingatan, hingga mendatangkan badai ketakutan yang maha dahsyat, sampai dirinya tak bercanda tawa kepadaku laksana sepasang orang asing yang kali pertama berjumpa di musim semi. Terasa jelas wajahnya menunjukkan sesal juga kebencian teramat dalam pada keadaan itu, bukan pada aku atau waktu. Aku tak mengharapkan apa-apa lagi darinya, namun uluran jemarinya membuat aku hanyut dalam kehangatan.
“Aku ingin kembali,” Sekali lagi ia bergumam.
Aku merasa sesal, namun tak dapat berbuat apa-apa, sampai-sampai tak memedulikannya. Mungkin segelintir orang, akan menganggap ini merupakan keegoisanku. Karena mementingkan kebahagiaan sendiri.
Saat terdiam, aku kembali diraih dalam dekapannya, berbisik dengan lembut “Akankah kau abadi, dengan selalu menabur rasa cinta untukku.”
Lalu aku peluk erat-erat sambil berucap penuh mesra “Hiduplah bersamaku lebih lama lagi Raih.”
Ia bangkit dari pelukanku, dan menjauh. Lalu kemudian ia sekadar menoleh padaku, dan kembali mencicipi sebatang rokok, sambil menikmati sisa-sisa kopi yang aku suguhkan saat waktu pertama ia mendatangiku. Aku hanya terdiam hingga bertanya-tanya dalam hati yang bergumam, “Apakah aku salah dalam bertindak?”
Tingkahnya membuat aku berpikir, sampai-sampai aku tak sempat membaca selembar buku sekalipun yang aku dapati di meja kamar itu, bahkan dalam kata kunci di halaman pertama. Raih kembali menatap ku lebih lama, tiba-tiba aku bersemangat dan coba memegang erat tangannya.
Aaah… Rupanya aku terlalu dalam terjatuh pada tatapannya, hingga aku mulai tertegun lalu hanyut pada dunianya. Kemudian entah kenapa aku menarik tubuhnya, dan melancarkan aksiku dengan memaksa cium dan memeluk erat tubuhnya. Raih tak berkata sepatah kata pun, ia terdiam sementara aku berupaya mendekap tubuhnya lebih erat.
Dengan napas tak beraturan dan tersengal-sengal Raih berkata “Kamu perempuan. Jangan lakukan itu.!” Titahnya.
Mendengar ujaran yang barusan ia lontarkan membuat aku melepaskan dekapanku dari bagian tubuh kekarnya. Dan aku merasa ada sesuatu yang berbeda sebelumnya, lalu diam terpaku sembari membayang-bayangkan kata-kata tersebut hingga sedikit terlintas dalam benakku perihal narasi yang ia tuturkan tadi. “Oh tidak..! Apakah aku melakukan kejahatan?” Tanyaku dalam pikiran.
Aku mulai menelaah diksi yang dilontarkan itu. Pantaskah aku seorang perempuan memulainya terlebih dulu? Ada beberapa tanyaku muncul dalam diam. Tak lama kemudian, aku kembali bergegas mendekap Raih sekencang-kencangnya sembari berdesis manja pada daun telinganya “Akankah kita abadi?” Tanyaku menggoda.
Sontak, dengan keras ia meraih tangan lembutku sambil mengecup bibir, dan ia pun menggenggam erat tubuhku, tanpa aku harus merasa ada kerelaan atau tidak. Sebab, aku telah dihantui perilakunya, yang selalu menggubris serta mengaitkan segala sesuatu dengan peristiwa kelamnya. Pikirku, aku adalah perempuan satu-satunya yang melakukan hal yang konon bagi kebanyakan orang tak pantas. Dan hal demikian Itu, hanya dapat dilakukan lakilaki terhadap perempuan. Teringat kembali diriku pada sebuah film “Wanita Berkalung Sorban”. Aku sedikit menangkap dialog antar tokoh utama Aisya dan pak ustadz ketika tengah belajar di ruangan kelas. Aisya dengan gamblangnya melontarkan pertanyaan pada sang ustadz dan mengharapkan jawaban supaya ia tak salah dalam melangkah.
“Pak, apakah bisa perempuan meminta duluan dalam melakukan hubungan intim atau seks?”
“Itu namanya perempuan gatal.”
Setelah mendengar jawaban pak ustadz, Aisya mulai terdiam, sambil berpikir dengan segala bentuk stigma yang diterapkan dalam kehidupan ini.
Astaga, “Apa-apaan ini… Bukankah setiap manusia baik laki-laki, maupun perempuan memiliki hak atas hasrat dan libido seks. Lantas kenapa demikian?” Tanyaku dalam gumam. Aku kan hanya perempuan biasa, yang juga mengharapkan kenikmatan atas tubuhku, bukan menjadi perempuan yang melayani tanpa kerelaan keakuanku, juga kemauan tiap mereka laki-laki yang menginginkan hubungan intim. Bahkan hal tersebut, menurutku merupakan keadaan yang manusiawi atas kepemilikan tubuh seseorang. Namun aku bersama Raih kembali menyatu dalam pelukan, di tengah keheningan malam.
Keadaanku saat itu bagaikan mimpi, Raih bergegas meninggalkanku dalam kondisi tertidur pulas. Ia bahkan tak membangunkanku untuk berpamitan, dengan berucap sepatah kata, tidak sekalipun. Tak ada kabar lewat telepon, SMS, WhatsApp, atau bentuk komunikasi lainnya.
Setelah aku terbangun, aku hanya melihat sebuah buku yang tergeletak di atas meja. Belum sempat kubaca pula tak tahu-menahu siapa pemilik buku itu. Dan tak ada sedikit jejak yang tertinggal tentang Raih. Diriku tentu merasa kecewa seperti perempuan-perempuan pada umumnya, lalu air mataku mengalir dalam menatap nelangsa kehampaan ruangan itu. Tak mau lebih lama tenggelam dalam lara karena penantian yang panjang. Aku mulai merenung, bahwa kita hanyalah singgah yang tak harus bersama. Bahkan aku sesekali bergumam dan menghadirkannya lewat imajinasi bahwa “Aku adalah pekerja seks komersial tanpa bayaran”.
Waktu terus berlalu. Detik ke menit, jam berubah hari hingga minggu dan bulan menjadi tahun. Aku tak pandai berkata dusta bahwa Aku tak pernah bertemunya kembali.
(Cerpen ini pernah dimuat di trotoarmalut.wordpress.com)
Karya: Sitti Anira Kanaha
Terkait
Koalisi Morowali Adil Makmur Usung Program Pro Rakyat Miskin
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Paus Membasuh Kaki Semua Umat di Indonesia, Melangkah dalam Keberagaman dan Kesetaraan