Jakarta – Pada pemilu 2019 tercatat jumlah pemilih perempuan di dalam negeri sebanyak 92.929.422. Pemilih di dalam negeri berasal dari 34 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.201 kecamatan, dan 83.370 kelurahan/desa. Sementara pemilih perempuan di luar negeri mencapai 1.065.300. Di sisi lain, berdasarkan data KPU jumlah kandidat perempuan di DPR RI sebesar 2.563 orang. Sedangkan kandidat perempuan dari DPD sebesar 152 orang.
Peningkatan jumlah penduduk berdasarkan sensus penduduk tahun 2020, otomatis meningkatkan jumlah pemilih perempuan. Pertanyaannya kemudian, apakah serta merta penambahan tersebut akan meningkatkan jumlah kandidat perempuan di parlemen?
Menjelang pemilu 2024, sejumlah partai politik bersiap untuk bersaing dalam perhelatan politik ini. Kemunculan partai-partai baru akan turut mewarnai dinamika politik negri ini. Dengan ketentuan kuota perempuan 30% diharapkan dapat meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR Pusat hingga daerah.
Harapan akan peningkatan partisipasi perempuan sedikit terpupus setelah terpilihnya anggota KPU dan Bawaslu yang tidak memenuhi 30% kuota perempuan sesuai amanah UU No. 7 tahun 2017. Lantas bagaimana menempatkan suara sekitar 100 juta pemilih perempuan pada pemilu mendatang? Suara pemilih perempuan turut menentukan partai mana yang berhak duduk di panggung politik.
Menyadari pentingnya suara perempuan sebagai unsur penentu, Suluh Perempuan menggelar diskusi virtual dengan tema “Parliamentary Threshold Menutup Peluang Pelibatan Penuh Perempuan Dalam Proses Politik”. Diskusi ini menghadirkan 3 (tiga) pembicara perempuan yaitu Titi Anggraini dari Perlidem, Siti Rubaidah mewakili Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) dan Bivitri Susanti, seorang dosen Tata Negara di Universitas Jentera.

Titi Anggraini sebagai pembicara pertama memberikan perbandingan mengenai Penetapan parliamentary threshold di beberapa Negara. Secara gamblang Titi menguraikan penerapan Undang-undang politik yang mengatur keterlibatan partai-partai politik dalam pemilu serta pemahaman mengenai parliamentary threshold itu sendiri. Parliamentary threshold bukan satu-satunya cara untuk menyerap suara warganegara sebagai partisipan politik.
Pembicara kedua, dari sebuah partai politik baru, Siti Rubaidah yang menduduki jabatan sebagai wakil ketua umum memberikan pandangannya mengenai keterlibatan perempuan. Sebagai partai baru, PRIMA sangat berkepentingan dengan aturan parliamentary threshold ini. PRIMA mendukung penuh keterlibatan perempuan dalam partai dan kebutuhan akan partisipasi perempuan bukan saja dalam memberikan suara namun juga dalam hal kepemimpinan politik. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya sejumlah perempuan sebagai pimpinan di pusat dan daerah.
Bivitri menjadi pembicara ketiga, memulai pembicaraan dengan mengulas tema diskusi yang dinilainya bisa menjadi sebuah hipotesis. Untuk menilai apakah hipotesis tersebut benar atau tidak setidaknya ada 3 (tiga) variabel yang mesti dilihat, yaitu: 1) Parliamentary Threshold, 2) Pelibatan politik perempuan, dan 3) aturan main di partai politik dan parlemen. Jadi untuk menjawab hipotesis apakah Parliamentary Threshold Menutup Peluang Pelibatan Perempuan dalam Proses Politik membutuhkan penjelasan dari ketiga variabel tersebut untuk bisa menarik kesimpulan.
Diskusi sempat terganggu dengan adanya beberapa peserta yang melakukan individual share screen saat pembicara menampilkan materi bahasannya. Kehadiran para peserta ini cukup merepotkan host yang harus berulangkali menutup microphone serta mengeluarkan mereka satu per satu. Jumlah peserta hampir mencapai 50 dan peserta-peserta baru terus berdatangan. Akhirnya host mengunci kepesertaan diskusi dan tidak lagi memasukkan peserta baru diantara waiting list kecuali untuk nama-nama yang sudah dikenal.
Serangan cyber ini membuat diskusi tersendat. Namun akhirnya diskusi dapat berjalan lancar dan semakin dinamis dengan pertanyaan dari beberapa peserta. Moderator diskusi, Jung Nursahabah dari DPP Suluh Perempuan memancing dengan sebuah pertanyaan yang ditujukan pada ketiga narasumber. Pertanyaan ini kemudiam disusul dengan pertanyaan dari beberapa peserta di kolom chat.
Pertanyaan pertama diajukan oleh seorang peserta mengenai terpilihnya anggota KPU dan Bawaslu yang tidak memenuhi kuota 30% perempuan padahal ketersediaan calon perempuan lebih dari 30%. Apakah ini menyalahi UU dan upaya konstitusi bisa mengubah keputusan tersebut?
Peserta lain bertanya, kalau boleh tahu bagaimana dan berapa besar dari para pemilih/rakyat memandang bahwa politik itu adalah jalan/cara untuk mengatasi masalah sosial ekonomi mereka terutama perempuan?
Seorang peserta menyoroti mekanisme fit and proper test Calon KPU dan Bawaslu di parlemen yang harus dibongkar. Ada celah dalam sistem rekrutmen KPU dan Bawaslu soal afirmasi yang perlu diperkuat. Ia menambahkan bahwa melihat dampak ambang batas parlemen, membuka wawasan bahwa keadilan sulit untuk dicapai terutama afirmative action 30% hanya untuk pemenuhan quota/pencalonan saja bukan untuk pemenuhan kursi. Belum lagi kehadiran perempuan dalam politik masih belum diterima 100% oleh kaum maskulin. Kondisi ini harus didobrak terutama UU Pemilu, khusus terkait posisi keterwakilan perempuan bisa terpenuhi di parlemen. Salah satunya diusulkan agar perempuan diberikan kesempatan untuk bersaing sesama perempuan agar 30% itu khusus diperebutkan sesama perempuan.

Diskusi semakin menarik dengan kehadiran beberapa peserta perempuan yang selama ini telah aktif di medan politik riil seperti Ibu Sri Wahyuni dari Partai Nasdem NTB, Ibu Lena Maryana dan Ibu Ninik Rahayu. Tak terasa 3 (tiga) jam terlewati tanpa terasa hingga moderator menutup diskusi. Usulan dan keresahan mengenai keterlibatan perempuan tidak bisa berhenti hanya disini saja. Perjalanan masih panjang untuk menarik keterlibatan perempuan dan memposisikan suara perempuan dalam posisi pengambil kebijakan.
Suara perempuan tidak dapat dibendung oleh parliamentary threshold. Keterwakilan perempuan menjadi penting untuk menghasilkan kebijakan yang mengakomodir kepentingan perempuan. Semoga ke depan ada lebih banyak perempuan bergabung dalam medan politik praktis dan hambatan demi hambatan bisa teratasi.
Erna Wati
Terkait
Mary Jane Fiesta Veloso: Perjalanan Panjang Menuju Pembebasan
Orde Baru dan Depolitisasi Perempuan
Peringatan 16 HAKTP 2024