19 Januari 2025

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah, Pemimpin Perempuan Aceh Utara

Pada tahun 1699, sang Sultanah memang mengundurkan diri. Namun, ia mengundurkan diri bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal hubungan Kerajaan Aceh dan para ulama saat itu baik-baik saja. Ia bahkan selama pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.
0Shares

Sultanah Zaqiatuddin Inayat Syah merupakan salah satu pemimpin perempuan dari Kesultanan Aceh Darussalam. Tidak ada data atau tulisan tentang jelasnya kapan ia lahir. Namun, ia memerintah Kesultanan Aceh Darussalam dari tahun 1678 hingga tahun 1688.

Ia menggantikan Sultanah Naqiatuddin Syah yang turun takhta pada tahun 1678. Zaqiatuddin menjadi Sultanah Aceh pada 23 Januari 1678. Setelah sah menjadi sultanah Aceh, Zaqiatuddin mendapat gelar Paduka Seri Sultanah Inayat Syah Berdaulat Zil Allah Fir Alam.

Menjadi Pemimpin Aceh

Menurut ulama besar Aceh, Nuruddin Ar-Raniry, dalam kitabnya Bustanus Salatin, Sultanah Zaqiatuddin memiliki nama Putri Raja Setia binti Sultan Muhammad Syah. Zaqiatuddin merupakan ratu atau sultanah ketiga dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.

Selama pemerintahannya ia menerima berbagai utusan dari negara lain, seperti Inggris yang ingin mendirikan benteng di Aceh. Namun, permintaan Inggris tersebut beroleh penolakan oleh Sultanah Zaqiatuddin.

Seorang pengarang ternama, Mohammad Said, menceritakan pada masa pemerintahan Seri Ratu Zakiatuddin Inayat Syah pernah mendapat kunjungan utusan dari Inggris dan utusan Syarif Mekkah. Utusan Inggris tersebut terdiri dari 2 orang. Menurut orang Inggris yang mengunjunginya tahun 1684, usianya ketika itu sekitar 40 tahun. Sri Ratu mereka ia gambarkan sebagai orang bertubuh tegap dan suaranya lantang. 

Ketegasan Penolakan Ratu

Cowley yang meminta izin mendirikan kantor perwakilan dagang di Aceh bersama loji militer Inggris yang hendak membangun sebuah benteng pertahanan guna melindungi kepentingan dagangnya tidak mendapat izin Ratu dengan mengatakan:

“Inggris boleh berdagang, tetapi tidak dizinkan mempunyai benteng sendiri.” 

Ratu Inayat Zakiatuddin Syah hanya mengizinkan pihak Inggris mendirikan kantor maskapai perdagangannya di pelabuhan Aceh. Pihak Inggris tidak mendapat izin mendirikan benteng pertahanan di Aceh dengan penjelasan bahwa kerajaan Aceh mampu memberikan perlindungan bagi pihak asing yang membuka kantor perdagangannya di Aceh.

Jawaban tegas tapi diplomatis dari Ratu Inayat Zakiatuddin Syah menunjukkan ketangguhan politik sang ratu dalam menjalin hubungan dengan luar negeri. Rusdi Sufi dan Muhammad Gade Ismail mengungkapkan, pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, beberapa utusan luar negeri datang ke Aceh membuka diplomasi, di antaranya dari Mekkah dan Inggris.

Ratu Inayat Zakiatuddin Syah dalam memimpin kerajaan Aceh menggunakan Syaikh Abdur Rauf yang masyarakat kenal sebagai Teungku Syiah Kuala sebagai mufti sekaligus penasehatnya.

Hoesien Djajadininggrat dalam buku “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh” mengungkapkan, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah juga meminta Syaikh Abdur Rauf, ulama besar Aceh untuk mengarang kitab yang berisi tentang ulasan dan kumpulan Arba’in kompilasi 40 hadis yang berasal dari Nawawi.

Kedatangan Utusan Mekkah

Sementara tentang kedatangan utusan Mekkah ke Aceh pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah terdeskripsikan oleh Muhammad Said dalam buku “Atjeh Sepandjang Abad” dalam buku itu dijelaskan, utusan dari Mekkah yang datang ke Aceh itu bernama El Hajj Yusuf E Qodri.

Ia adalah utusan Raja Syarif Barakat ke India untuk memberikan bingkisan kepada Sulthan Mongol, Aurangzeb. Tapi karena tidak berhasil ke Mongol utusan itu sampai ke Aceh yang mereka kenal sebagai kerajaan yang taat kepada hukum-hukum Islam. Dalam dialognya dengan perutusan Syarif Mekkah ini, Ratu Zakiatuddin memakai bahasa Arab yang fasih.

Utusan dari Mekkah menyebutkan negeri Aceh sangat indah dan permai, mereka sangat kagum dengan Aceh karena memiliki penduduk yang beragam dan berdominasikan para saudagar.

Utusan dari Mekkah ini akhirnya kembali ke negeri Arab pada tahun 1094 H atau 1683 M. Hanya dua diantaranya yang menetap di Aceh, yaitu Syarif Hasyim dan Syarif Ibrahim. Mereka lah yang di kemudian hari mempelopori perebutan kekuasaan atau kup terhadap pemerintahan ratu.

Sumber lainnya, Sutan Iljas Pamena dalam buku “Rentjong Atjeh di Tangan Wanita (Zaman Pemerintahan Raja-raja Puteri di Atjeh) terbitan 1959 mengungkapkan, sekembalinya ke Mekkah utusan itu menyampaikan kepada Raja Mekkah betapa baik dan sempurnanya pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah di Kerajaan Aceh, yang rakyatnya taat beragama Islam, hidup rukun dan damai dalam kemakmuran.

Ratu Inayat Zakiatuddin Syah menerima utusan itu beserta bingkisan hadiahnya. Utusan dari Mekkah itu memperoleh sambutan dengan pergelaran upacara kebesaran. Para utusan dari Mekkah itu merasa sangat puas, apalagi Ratu Inayat Zakiatuddin Syah meminta kepada para utusan itu untuk tinggal beberapa waktu di Aceh karena Ratu Inayat Zakiatuddin Syah akan mempersiapkan bingkisan balasan kepada utusan itu untuk diserahkan kepada Raja Barakat.

Ada dua bingkisan yang menjadi hadiah bagi Ratu Inayat Zakiatuddin Syah kepada utusan dari Mekkah itu, kedua bingkisan tersebut berisi barang-barang berharga seperti emas murni, kasturi, kayu alu, kapur barus, sepasang terompah emas dan sejumlah uang sedekah untuk fakir miskin yang ada di Mekkah.

Dirham Seri Paduka Sultanah

Sama halnya dengan dua ratu yang memimpin kerajaan Aceh sebelumnya, Ratu Safiatuddin dan Naqiatuddin, mata uang emas juga dikeluarkan pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah.

Tentang mata uang emas itu dijelaskan T Ibrahim Alfian dalam bukunya “Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh,” menjelaskan bahwa kadar emas dalam uang yang berlaku pada masa pemerintahan Ratu Inayat Zakiatuddin Syah kadar emasnya 17 karat, berdiameter 13 mili meter (mm) dengan berat 0,55 gram.

Pada bagian muka uang emas itu tertulis dengan aksara Arab, Paduka Seri Sultanah Inayat Syah. Sedangkan pada bagian sisi belakang tertulis Zakiat at-Din Syah Berdaulat. Ratu Zakiatuddin Syah memerintah di Kerajaan Aceh selama sebelas tahun dari tahun 1677 hingga 1688

Dirham milik Nek Syariban, penduduk Meunasah Kanot, Syamtalira Aron, Aceh Utara yang telah didokumentasikan oleh Fotografer Adi Alam ini merupakan dirham yang ada pada masa pemerintahan Seri Ratu Kamalat Syah, yang menurut Hasjmy, baginda telah memerintah Kerajaan Aceh pada 1098-1109 H/1688-1699 M.

Dari pencermatan sepintas dapat kita tahu bahwa pada dirham baginda Ratu tertera:

Sisi A سري فادوك كملات شاه (Seri Paduka Kamalat Syah)

Sisi B زينة الدين شاه بردولة (Zinatuddin Syah Berdaulah)

Suatu hal yang juga baru kita amati dari dirham ini bahwa ternyata baginda Seri Paduka Kamalat Syah juga bergelar dengan Zinatuddin yang berarti ‘perhiasan Agama’ sebagaimana ratu-ratu sebelumnya yang semuanya memiliki gelar yang di-‘idhafat’-kan kepada ‘Ad-din’ seperti Shafiyyatuddin, Naqiyyatuddin dan Zakiyyatuddin.

Seri Paduka Kamalat Syah-yang dari penulisan namanya, ‘Kamalat’, tampak pengaruh Turkiy Dinasti Utsmaniyyah-adalah Zinatuddin: Perhiasan Agama. Rahimahallah.

Ketidakpuasan Politisi Laki-Laki

Manakala tokoh mereka yang akan mereka jadikan Sultan telah ada, yaitu Syarif Hasyim yang memisahkan diri dari perutusan Syarif Barakat dari Mekkah, apalagi Syarif ini sangat berambisius untuk menjadi Sulthan Kerajaan Aceh Darussalam.

Di kalangan kelompok politisi yang memperalat kaum wujudiyah, termasuk beberapa orang Uleebalang (Hulubalang), yang tidak puas selama pemerintahan Ratu. Karena ada beberapa hak istimewanya telah ditiadakan oleh Ratu Safiatuddin, yang kemudian dilanjutkan oleh Ratu-ratu sesudahnya. Karena itu, penobatan Puteri Punti menjadi Sulthanah dengan gelar Sri Ratu Kamalatuddin Inayat Syah menimbulkan kegoncangan, karena ada yang pro, juga ada yang kontra.

Hampir saja Puteri Punti terjungkir dari takhta kerajaan pada hari-hari pertama dia dinobatkan, kalau tidak bijaksana Kadli Maliikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala mempertahankannya, yang didukung sepenuhnya oleh Panglima Sagi, XII, XXVI, dan XXV.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai kepemimpinan perempuan dalam Islam. Tapi jika kita tengok dalam sejarah kesultanan Aceh pada awal abad ke-17 M, tidak kurang dari empat putri raja berturut-turut naik takhta pada abad ke 17 M atau sesudah tahun 1641. Padahal kita tahu Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat yang mengacu pada ketentuan hukum pidana Islam.

Sementara menurut Ito Takesi dalam The Word of The Adat Aceh A HIstorical Study of The Sultanate of Aceh, menyebutkan dipilihnya para Sultanah adalah untuk menghindari perselisihan dan perebutan Mahkota kerajaan di antara para keturunan Raja

Zakiyatuddin meninggal pada 1688 kemudian digantikan Kamalat Shah yang memerintah hingga tahun 1699. Pemerintahan Kamalat Shah mendapat perlawanan dari golongan orang kaya, tidak seperti pendahulunya yang bisa diterima baik oleh masyarakat. Pihak oposisi menuntut agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki.

Pemakzulan Fatwa Mekkah

Pada tahun 1699, sang Sultanah memang mengundurkan diri. Namun, ia mengundurkan diri bukan karena tuntutan itu, melainkan fatwa dari Mekkah yang menegaskan pemerintahan perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Padahal hubungan Kerajaan Aceh dan para ulama saat itu baik-baik saja. Ia bahkan selama pemerintahannya mendapat bantuan dari para ulama, khususnya Kadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf Syiahkuala.

Kemudian, tujuh tahun setelah pemakzulan dari tahtanya, baginda berpulang ke rahmatullah pada Ahad, 28 Zulhijjah 1116 H (1706 M)

Sumber:

Ar-Raniry, Nuruddin. (1636). Bustanus Salatin

Said, Muhammad. (1961). Atjeh Sepandjang Abad

Harian Aceh, Iskandar Norman http://modusaceh-news.co.

Darmawan, Joko. (2018). Sandyakala: Kejayaan dan Kemashyuran Kerajaan Nusantara. Ponorogo: Uwais Inspirasi

Takesi, Ito (1984). The Word of The Adat Aceh A HIstorical Study of The Sultanate of Aceh

Alfian, T Ibrahim (1979) Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh

Hajsmy. (1977). 59 Tahun Aceh Merdeka di bawah Pemerintahan Ratu

Djajadininggrat, Hoesien (1911). “Critisch Overzicht van de in Maleische Werken Vervae Gegevens Over de Geschiedenis van Het Soeltanaat van Atjeh

Pamena, Sutan Iljas (1959) Rentjong Atjeh di Tangan Wanita (Zaman Pemerintahan Raja-raja Puteri di Atjeh)

0Shares
×

Salam Sejahtera

× Hai