Jejak Maritim Indonesia
Menelusuri jejak Maritim di Jepara pada abad ke-16 hingga abad ke-17 menunjukan bahwa Jepara mempunyai posisi strategis dalam perdagangan internasional. Keberadaan pelabuhan yang aman dan nyaman serta terletak pada posisi strategis menjadikan Jepara mempunyai daya tarik tersendiri yang menghubungkan dengan dunia luar.
Di sisi lain, kekuatan ekonomi Jepara ditopang dengan komoditas hasil pertanian berupa beras dengan harga yang kompetitif, serta industri galangan kapal yang dikembangkan oleh Sultan Hadlirin dan Ratu Kalinyamat.
Namun, keberadaan pelabuhan Jepara juga diwarnai dengan berbagai peristiwa yang mengakibatkan pelabuhan tersebut sampai tidak lagi difungsikan.
Menurut berita-berita Portugis, setelah penyerangan Pati Unus, lambat laun Kota Jepara tidak difungsikan lagi. Bahkan pada tahun 1521 Kota Jepara terlepas dari kekuasaan Demak dan kembali diperintah oleh seorang penguasa yang masih asing. (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985).
Setelah tampuk kekuasaan Demak berada ditangan Sultan Trenggana, ia berhasil memperluas wilayah Kerajaan Demak.
Hal ini tidak lepas dari kekuatan militer laut dengan armada perangnya. Melalui laut Jepara, Demak berhasil menjadi wilayah yang kuat secara ekonomi, politik dan militer. Sumber Portugis menyebutkan, Ratu kalinyamat juga pernah bertugas sebagai utusan Sultan Trenggana, ayahnya sendiri untuk bertemu dengan penguasa Banten.
Dengan maksud mengajak Kasultanan Banten dalam ekspedisi ke Jawa Timur. Dalam pertemuan tersebut Ratu Kalinyamat dan Sultan Banten juga membahas siasat perang dalam menghadapi kekuatan pasukan yang berada di Jawa Timur.
Tak kurang dari 40 buah armada perang laut milik Kasultanan Banten dan 700 prajurit meninggalkan Banten untuk bergabung dengan armada perang Kasultanan Demak yang sudah menunggu di pelabuhan Jepara.
Hal ini disampaikan oleh Mendez Pinto seorang Portugis yang ikut dalam iring-iringan kapal Ratu Kalinyamat. Pada tahun 1545, Pinto datang ke Banten dengan menumpang perahu jung dari Goa.
Sementara tinggal di kota bandar tersebut, datang seorang wanita terkemuka yang bemama Nyai Pombayu, sebagai utusan Raja Demak, maharaja seluruh Pulau Jawa, Bali, Kangean, Madura, dan semua kepulauan di sekitamya.
Kedatangan Nyai Pombayu ini diutus oleh Raja Demak untuk memberi tahu kepada bawahannya, Taragil Raja Sunda, bahwa dalam waktu setengah bulan ia harus menghadap untuk mempersiapkan ekspedisi melawan Pasuruan di Jawa Timur.
Persiapan yang telah dilakukan Raja Banten berupa 40 buah kapal dengan 700 orang awak kapal. Jumlah ini masih ditambah dengan bergabungnya 40 orang Portugis. (Hayati, Chusnul dkk. 2007).
Dengan bantuan itu Portugis mengharapkan memperoleh kemudahan dalam perdagangan. Pada tanggal 5 Januari 1546 bersama Ratu Kalinyamat berangkat ke Jepara.
Setelah 14 hari menyisir pantai utara Jawa, konvoi militer itu akhirnya tiba di pelabuhan Jepara. Menurut berita laporan Mendez Pinto pada waktu itu di pelabuhan Jepara juga sudah disiapkan sebanyak 2700 armada perang terdiri dari 1000 kapal jung dan 1700 kapal dayung dan ditambah 80.000 prajurit.
Kepemimpinan Ratu Kalinyamat
Ratu Kalinyamat atau Retna Kencana adalah seorang perempuan yang memimpin Jepara sekitar abad ke-16. Jepara adalah satu wilayah di pesisir utara Jawa. Walaupun dalam tradisi Jawa, perempuan disebut “konco wingking” atau teman belakang, Ratu Kalinyamat telah memainkan perannya.
Tak hanya di lingkup regional, namun kegigihan Ratu Kalinyamat juga di akui di lingkup internasional. Munculnya Ratu Kalinyamat sebagai lakon perempuan Jawa telah menunjukkan kondisi yang bertolak-belakang dengan tradisi dan gambaran perempuan Jawa secara umum.
Sepanjang sejarah maritim di Indonesia, sosok Ratu Kalinyamat telah meninggalkan jejak tersendiri mengenai keterlibatan perempuan Jawa yang menjaga kedaulatan maritim Nusantara. Selama 30 tahun kepemimpinannya, Ratu Kalinyamat telah berhasil membawa Jepara pada puncak kejayaan.
Ratu Kalinyamat dengan armada lautnya, telah dua kali menyerang Portugis di Malaka. Sehingga selama masa kekuasaannya, Jepara semakin berkembang pesat menjadi bandar pelabuhan terbesar di Pantai Utara Jawa serta memiliki armada laut yang besar dan kuat. Pada penyerangan pertama, Ratu Kalinyamat dan armadanya berhasil mengepung Malaka selama tiga bulan.
Penyerangan ini dilakukan untuk menarik mundur Portugis dari Malaka pada tahun 1551 dan 1574. Sayangnya pada penyerangan kedua ia gagal. Ratu Kalinyamat pun menarik kembali pasukannya ke Jawa. Walaupun demikian, pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, kota pelabuhan Jepara merupakan salah satu kota atau kerajaan maritim di Pantai Utara Jawa yang sangat kuat.
Kala itu masyarakat Jepara tampil dalam panggung sejarah Nusantara sebagai masyarakat bahari dengan memenuhi kebutuhan hidupnya dari kegiatan memanfaatkan sumber daya lautnya. Keberanian Kalinyamat diakui Portugis. Keberanian Ratu Kalinyamat juga diakui oleh bangsa Portugis.
Hal tersebut terungkap dari tulisan Diego de Couto dalam bukunya “Da Asia”. Ia menyebut Rainha de Japara, senhora paderosa e rica (Ratu Jepara, seorang perempuan kaya dan sangat berkuasa). Sumber lainnya juga menyebutnya sebagai De Kraine Dame (seorang perempuan yang pemberani).
Selama kepemimpinannya, Ratu Kalinyamat tak hanya fokus pada pertanian sebagai wilayah kekuasaannya. Ia mengutamakan aktivitas pelayaran dan perdagangan dengan daerah seberang.
Tak hanya itu. Ia juga menerapkan sistem commenda (kontrak pinjaman alat bayar/uang untuk perdagangan) dalam melakukan hubungan dagang dan pelayaran.
Sistem commenda mengatur raja atau penguasa yang ada di wilayah pesisir melalui wakil-wakilnya di Malaka, untuk menanamkan modal pada kapal dari dalam maupun luar negeri yang akan berlayar untuk melaksanakan perdagangan dengan wilayah lain. Sayangnya Jepara mengalami kemunduran saat Ratu Kalinyamat mangkat dan kekuasaannya jatuh di tangan Sultan Pajang.
Namun pelabuhan Jepara dan aktivitasnya tak berhenti. Salah satu pelaut Belanda yang datang pertama kali Jepara mengatakan jika Jepara adalah pelabuhan ekspor yang menjadi bagian penting Kerajaan Mataram. Sekitar tahun 1680-an, VOC memperoleh konsesi dalam bentuk sewa (gadai) dari Raja Mataram untuk mendirikan benteng di Pelabuhan Jepara.
Selain Batavia, pusat kekuasaan VOC ada di Jepara karena pada waktu itu posisi Jepara sangat menguntungkan. Dengan pusat kekuasaan di Jepara, maka VOC akan mewarisi sarana dan prasarana kota pelabuhan yang strategis serta potensi Jepara yang saat itu masih memiliki daerah yang menghasilkan produk pertanian
Kapal Jung Jawa
Pelabuhan Jepara mampu menampung ratusan kapal atau jung dengan jumlah yang sangat besar. Di pelabuhan Jepara inilah armada atau perahu-perahu atau jung-jung Jawa dimodifikasi dan dipersenjatai sedemikian rupa sehingga menjadi armada perang.
Armada Pati Unus yang terdiri dari 100 buah kapal, yang paling kecil beratnya 200 ton, pada tanggal 1 Januari 1513 melakukan penyerangan ke Malaka, meskipun mengalami kegagalan.
Dari 100 buah kapal yang dikirim ke Malaka, hanya 8 buah yang dapat kembali ke pelabuhan Jepara. Armada perang Ratu Kalinyamat dalam ekspedisinya ke Malaka pada tahun 1573 juga dipersiapkan dari pelabuhan Jepara. Sebanyak 300 kapal perang, 80 di antaranya merupakan jung-jung dengan tonase 400 ton.
Selain sebagai bandar terbesar di utara Pulau Jawa, Jepara juga terkenal dengan industri galangan kapalnya. Dalam beberapa sumber Portugis menginformasikan galangan kapal di Jawa Tengah/Timur sudah terkenal di Asia Tenggara pada abad ke-16.
Hal ini dapat dimengerti karena di daerah Selatan Jepara di daerah pegunungan Kendeng/Kapur utara banyak terdapat hutan Jati.
Dari daerah tersebut dihasilkan kayu jati dengan kualitas terbaik untuk dipakai membangun kapal. Kapal-kapal niaga dan dan kapal perang Kasultanan Demak adalah kapal-kapal jung model Tiongkok pada zaman Dinasti Ming yang dapat memuat 400 orang prajurit dengan kapasitas 100 ton. (Prof. DR. Ratno Lukito dkk. 2020).
Dengan keahlian membuat kapal atau jung, Jawa sudah tersohor sehingga Albuquerque membawa 60 tukang pembuat kapal pada waktu ia meninggalkan Malaka pada tahun 1512. Kapal yang dibuat di sini terbatas pada kapal-kapal kecil yang dapat muatan dengan tonnase kecil.
Albuquerque tidak menyebut di mana tempat galangan kapal Jawa tersebut, tetapi orang-orang Belanda yang pertama kali datang di Indonesia memberitahu bahwa Lasem, yang terletak antara pelabuhan-pelabuhan terkenal Tuban dan Jepara, dan yang dekat dengan hutan jati Rembang merupakan pusat industri galangan kapal ini.
Karena bersama Rembang, Jepara memiliki banyak hutan jati di pedalaman. Menurut Tome Pires, para pedagang yang kaya dari berbagai daerah datang ke kedua tempat itu untuk membuat jung.
Berdasarkan sumber-sumber Portugis dan Belanda abad ke- 16 dan ke 17 dapat diketahui ciri-ciri jung Jawa yakni, jung yang dibuat sama sekali tidak menggunakan bahan logam, papan-papan yang disambung menggunakan pansak kayu atau bambu yang dimasukan ke dalam papan-papan kayu yang disambung.
Lapisan ganda dari lambung nampaknya juga menjadi ciri umum kapal-kapal Asia Tenggara. Kapal Pati Unus mempunyai tiga lapisan papan yang dilapiskan dengan ketebalan 2 cm.
Ciri-ciri lainnya adalah jung Jawa mempunyai dua kemudi pada dua sisi samping kapal, mempunyai tiang ganda antara dua sampai empat ditambah haluan simpul (tali) dan layar.
Hal ini juga digambarkan oleh seorang pelaut Belanda yang bernama Jan Brandes berdasarkan pengalaman pelayarannya di Jawa antara 23 Januari 1779 – 26 Agustus 1785.
Pada abad ke- 16 jung Jawa sudah dimodifikasi menjadi kapal perang dengan tonase mencapai 1000 Ton. Jung itu dibuat dengan menggunakan alat-alat yang masih sederhana seperti kapak, bor, pahat.
Kapal Jawa memang dimodifikasi dari kapal dagang untuk menyerang Portugis di Malaka. Ketika pada tahun 1513, Adipati Unus perlu waktu 5 tahun untuk mempersiapkan armada perangnya. Persiapan ini dilakukan di pelabuhan Jepara yang merupakan pelabuhan militer Demak.
*)Dihimpun dari berbagai sumber
***(MJ)
Terkait
Bincang SuPer: Retno Kustiyah Aktivis Anti Bullying
Apa Sih Isi RUU-PPRT?
Yacko: Dosen, Rapper dan Artivist