Jakarta – Dokter Sandra Suryadana adalah salah satu di antara duabelas penulis buku “Perempuan Itu Berlawan” yang launching di Liberdade Cafe & Eatery, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan pada 27 Januari 2024.
Dalam buku Perempuan Itu Berlawan yang diterbitkan oleh Suluh Perempuan, Sandra menulis cerita bersambung dengan tajuk Mentari. Jauh sebelum terlibat dalam kepenulisan buku, Sandra sudah memiliki kebiasaan menulis sedari kecil saat ia bersekolah. Baginya menulis adalah caranya mengekspresikan diri.
Ketika anak-anak lain melakukan aktivitas olahraga, seni, menyanyi atau menari, ia memilih untuk menulis. Dalam perkembangannya, ternyata menulis itu bukan cuma cara mengekspresikan diri, tetapi juga cara saya memulihkan diri. Memulihkan diri dari apapun yang terjadi sehari-hari.
“Tulisan saya ini adalah cerita bersambung. Dan itu saya tulis sebelum saya membuat Dokter Tanpa Stigma. Jadi memang itu adalah momen-momen di mana saya masih dalam proses, masih sangat bergulat dengan diri saya sendiri. Jadi belum terpikir untuk membuat sesuatu untuk masyarakat. Jadi masih dealing with my self dulu,” ungkapnya.
Sandra mengutip apa yang dikatakan Ibu Musdah Mulia, bahwa setiap hari itu perempuan itu mengalami ketidaknyamanan, ketidakadilan, diskriminasi dan lain-lain. Menurutnya, menulis adalah sarana untuk berekspresi, untuk memulihkan diri. Ia meyakini bahwa Tuhan yang mengarahkannya bertemu dengan Suluh Perempuan dan terlibat pada gelaran 16 hari menulis dalam rangka 16HAKTP yang digagas Suluh Perempuan.
Menulis adalah media untuk memulihkan diri bagi Sandra, tetapi ternyata banyak tulisan-tulisan lain yang sangat bisa relate dengan cerita yang ia tulis. Baginya, cerita-cerita seperti ini bukan cerita yang unik. Ini adalah cerita yang banyak dialami oleh perempuan-perempuan lainnya. Harapannya tulisan ini, membawa banyak kebaikan. Setidaknya bagi ia pribadi dan bisa menyebar ke orang-orang lain.
Baca Juga: Telah Terbit: Perempuan Itu Berlawan
Dokter Tanpa Stigma
Sandra Suryadana merupakan founder dari Dokter Tanpa Stigma. Sandra membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma karena masih banyaknya perilaku diskriminatif yang dilakukan tenaga medis di Indonesia. Awalnya Sandra membentuk gerakan Dokter Tanpa Stigma. Kini berkembang menjadi komunitas yang menjadi wadah laporan, cerita dan masukan bagaimana mematahkan stigma di kalangan dokter dan tenaga medis.
“Kira-kira satu tahun setelah saya menulis tulisan-tulisannya di buku ini, baru kemudian saya membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma. Awalnya ini berasal dari gerakan, baru di tahun 2023 berubah bentuk menjadi komunitas,” terangnya.
Mengapa membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma? Awalnya Sandra kaget dengan perilaku-perilaku yang diskriminatif terhadap perempuan, yang memberikan stigma pada perempuan-perempuan. Apalagi yang terjadi pada kelompok marginal.
“Itu bahkan dilakukan oleh tenaga-tenaga medis, gitu. Yang notabene mungkin kalau di masyarakat itu dinilainya sebagai kelompok masyarakat atau kelompok profesi yang berpendidikan tinggi. Yang bekerja untuk kemanusiaan. Jadi seharusnya punya hati nurani yang lebih gitu ya. Karena sehari-harinya itu membantu orang. Tetapi dalam kenyataannya ternyata banyak juga yang menjadi pelaku, gitu loh,” terangnya dengan gemas.
Baca Juga: Dokter Tanpa Stigma Kecam Konten Tik Tok yang Lecehkan Perempuan
Hampir 10 tahun Sandra bekerja dan praktek sebagai dokter dan pindah-pindah berbagai daerah. Ia menemukan fenomena yang sama.
“Jadi itu kan buat saya pribadi, itu sesuatu hal yang sangat miris. Dan ironis sekali, sebetulnya.”
Menurutnya, ada yang salah dengan sistem pendidikan kita atau sistem pendidikan para dokter kita. Dalam sistem pendidikan yang ada, biasanya butuh waktu 6 tahun untuk sekolah menjadi dokter, bidan, atau perawat. Sayangnya, ada yang tidak singkron antara apa yang dipelajari dengan keluaran tenaga medis yang ada.
“(Saat sekolah) kan mau nolong orang, ya. Kan bukan untuk ngejahatin orang, gitu loh. Loh ini kok pas udah kerja, udah kita mempraktekan apa yang kita pelajari, kok kayak nggak sinkron dengan apa yang dinyatakan di awal, gitu. Dan buat saya pribadi, jadi saya merasa kita itu kayak dosanya double, gitu,” lanjutnya.
Alasan-alasan di atas yang membuat Sandra yakin dan berani membuat gerakan Dokter Tanpa Stigma. Ternyata respon dari masyarakat sangat positif. Terbukti dengan banyaknya masukan dan dukungan dari masyarakat. Hambatan dan tantangannya justru datang dari tenaga medisnya sendiri.
“Saya, tidak ada niatan untuk menyerang secara personal. Tetapi saya mengkritisi perilaku dan tindakan yang dilakukan. Bukan pula menyerang institusi. Misalnya saat ada dokter dan influencer yang membuat konten diskriminatif di sosial media, saya membuat aksi dan melaporkan kasusnya. Akibatnya di izin prakteknya dicabut. Nah, saya dibilang mematikan profesi, nggak memikirkan keluarganya, tidak memikirkan masa depan karirnya.”
Sandra menilai bahwa sikap sejawat yang seperti itu adalah kesejawatan yang toksik. Baginya, sejawat yang berada dalam satu komunitas dan satu perkumpulan harus membawa kepada kebaikan. Bukan malah jadinya saling menutupi. Itu adalah budaya yang sudah lapuk yang tidak boleh dipelihara dan harus segera ditinggalkan.
Sandra setuju bahwa sudah saatnya perempuan itu berlawan. Perlawanan perempuan tidak bisa sendiri-sendiri lagi, tapi harus bersama-sama, harus serentak, harus kolektif, harus terkumpul dalam satu media supaya tidak hanya menjadi suara kecil-kecil yang tidak didengar. Kita bersatu, berkumpul, menyebar secara masif sampai suaranya tidak bisa lagi dibungkam.
Sandra merasa sangat senang sekali mendapat kesempatan bukan hanya untuk berekspresi, bukan hanya untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, tetapi juga berkumpul, berjejaring, berkomunitas menyatukan kekuatan sebagai perempuan senasib sepenanggungan.
Harapannya mudah-mudahan cerita-cerita di sini menyebar dan menginspirasi banyak cerita-cerita lainnya agar semakin bisa dibahas dari berbagai macam aspek. Karena satu orang tidak mungkin bisa meng-cover semua, karena setiap masalah, setiap isu itu dimensinya benar-benar luas dan bisa dikolaborasi dengan masyarakat yang lainnya.
Sandra Suryadana percaya bahwa dibutuhkan banyak orang untuk menyuarakan perlawanan supaya sampai pada tujuan akhir kita bersama yaitu kesetaraan.
Baca Juga: Diskusi Online: Menjadi Tenaga Medis Berperspektif Gender
Mila Joesoef
Terkait
Resensi Buku: Menghadang Kubilai Khan
Sunat Perempuan, Tradisi Berbalut Agama yang Membahayakan
Dari Aktivisme Borjuis ke Solidaritas Sejati: Membangun Gerakan Sosial yang Inklusif