Film Woman from Rote Island menampilkan realitas kehidupan perempuan di Indonesia, khususnya dalam konteks budaya patriarkal yang masih kuat di berbagai daerah. Melalui kisahnya, film ini menggambarkan bagaimana budaya patriarki, adat istiadat, kekerasan seksual, stigma kesehatan mental, praktik pasung, serta femisida menjadi sistem yang menindas perempuan.
Sebagai sebuah karya sinematik, film ini tidak hanya berfungsi sebagai hiburan tetapi juga sebagai media kritik sosial. Dengan pendekatan realis, Woman from Rote Island mengajak penonton untuk merefleksikan bagaimana struktur sosial dan budaya dapat memperkuat ketidakadilan gender. Artikel ini akan menganalisis film ini dengan pendekatan kritis terhadap berbagai aspek yang ditampilkan. Khususnya dalam konteks patriarki, adat istiadat, stigma terhadap kesehatan mental, budaya pasung, dan normalisasi kekerasan seksual.
Sistem yang Menindas Perempuan
Patriarki merupakan sistem sosial yang memberikan dominasi kepada laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi subordinat. Dalam film ini, patriarki digambarkan secara eksplisit melalui peran gender yang kaku, di mana perempuan diharapkan tunduk pada otoritas laki-laki, baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Salah satu aspek yang ditampilkan adalah bagaimana perempuan dianggap sebagai properti keluarga dan komunitas. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri dan sering kali dipaksa mengikuti norma yang menguntungkan laki-laki. Film ini menggambarkan bahwa pelestarian adat istiadat sering kali digunakan sebagai alat untuk mempertahankan sistem patriarki, yang justru merugikan perempuan.
Orpa yang sedang mengalami masa berduka, dituntut masyarakat bahkan keluarganya untuk tidak bepergian keluar rumah. Hal itu merupakan bagian dari aturan adat istiadat di daerahnya, meski pada akhirnya Orpa memilih keluar rumah dimasa-masa berkabung atas kematian suaminya.
Film ini mengulas secara mendalam realitas sosial dalam masyarakat patriarkis. Bagaimana perempuan dikekang dan dituntut patuh dan tunduk pada nilai-nilai budaya yang ada. Meski pada dasarnya hal ini sangat tidak relevan dalam kacamata “kesetaraan” bahkan “kebebasan” perempuan yang patut dihormati.
Tokoh Orpa, menghadapi berbagai pilihan dilematis dalam menjalani hidupnya sebagai perempuan. Ia terpasung dalam bayang-bayang patriarki yang memaksanya hidup dalam tatanan yang serba carut marut. Kehidupan Orpa, setelah menjadi janda, hidup dengan 2 anak perempuan. Sebagai perempuan yang dijerat dominasi patriarki dan menghadapi berbagai macam kerentanan dan kekerasan.
Di beberapa daerah di Indonesia, adat istiadat masih menjadi hukum tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat. Sayangnya, tidak semua praktik adat mendukung keadilan dan kesetaraan gender. Sebagaimana terlihat dalam film Woman from Rote Island, adat istiadat justru memperkuat penindasan terhadap perempuan. Termasuk dalam hal normalisasi kasus kekerasan seksual, stigma pada perempuan dengan masalah kesehatan mental, hingga budaya pasung.
Salah satu kritik utama dalam film ini adalah bagaimana adat dipertahankan meskipun sudah jelas merugikan perempuan. Perempuan yang menolak aturan adat sering kali dikucilkan, dianggap tidak berbakti, dan bahkan dihukum oleh komunitasnya sendiri. Hal ini menunjukkan bagaimana budaya yang diwariskan turun-temurun bisa menjadi alat kontrol sosial yang justru meneguhkan ketimpangan gender.
Kekerasan Seksual dan Femisida
Salah satu isu paling mencolok dalam film ini adalah bagaimana kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya terjadi, tetapi juga dinormalisasi oleh masyarakat. Banyak kasus kekerasan seksual tidak dianggap sebagai kejahatan, terutama jika dilakukan oleh orang-orang yang memiliki status sosial tinggi atau memiliki hubungan dengan korban, seperti keluarga atau pasangan.
Dalam film ini, korban kekerasan seksual tidak mendapatkan keadilan. Marta, tokoh pemeran penyintas dalam film ini, justru disalahkan atas apa yang terjadi. Sebagai korban ia bahkan akan dinikahkan dengan pelaku, hingga dikucilkan dari masyarakat. Hal ini mencerminkan realitas yang masih terjadi di banyak daerah di Indonesia. Di mana korban kekerasan seksual sering kali menghadapi reviktimisasi dan tekanan sosial yang lebih besar daripada pelaku kejahatan itu sendiri.
Film ini juga menyoroti bagaimana ketimpangan akses layanan kesehatan bagi korban kekerasan seksual dan korban kehamilan tidak diinginkan. Marta, harus menanggung berkali-kali beban ganda sebagai perempuan yang hidup dalam masyarakat. Marta harus menanggung beban akibat perkosaan berulang oleh pelaku yang adalah orang terdekat.
Dibalik peliknya realitas sosial yang pelik tokoh Marta justru melakukan perlawanan. Berkali-kali ia mengalami kerentanan terhadap kekerasan seksual, sebanyak itu pula Marta bangkit melawan. Karakter Marta sama dengan adiknya, mereka berdua melawan siapapun yang mengganggu. Meski, pada akhirnya terjadi fakta tragis yakni pembunuhan terhadap adiknya Marta. Kasus femisida seringkali muncul dalam bentuk pembunuhan terhadap seseorang karena keperempuanannya.
Stigma Kesehatan Mental & Budaya Pasung yang Merugikan
Film ini juga menyoroti bagaimana kesehatan mental masih menjadi isu yang distigmatisasi di banyak daerah di Indonesia. Perempuan yang menunjukkan tanda-tanda gangguan mental sering kali tidak mendapatkan akses terhadap layanan kesehatan yang layak, melainkan justru dikurung atau dipasung.
Budaya pasung merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang didukung oleh ketidaktahuan serta kurangnya akses terhadap fasilitas kesehatan jiwa. Di beberapa daerah, perempuan yang dianggap “tidak normal” atau “melawan norma” sering kali menjadi korban praktik ini. Film ini mengangkat bagaimana perempuan yang mengalami trauma atau gangguan mental lebih sering diperlakukan sebagai aib keluarga daripada sebagai individu yang berhak mendapatkan perawatan dan dukungan.
Woman from Rote Island adalah film yang secara tajam mengkritik bagaimana patriarki, adat istiadat, stigma kesehatan mental, budaya pasung, normalisasi kekerasan seksual hingga femisida membentuk sistem yang menindas perempuan. Film ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya sekadar tindakan individu, tetapi merupakan hasil dari struktur sosial yang telah berakar kuat dalam budaya.
Sebagai penonton, kita diajak untuk merenungkan peran kita dalam sistem ini. Apakah kita hanya menjadi penonton pasif, ataukah kita berkontribusi dalam mengubah norma-norma yang tidak adil? Film ini juga memberikan pesan penting tentang pentingnya pendidikan, akses kesehatan mental, serta sistem hukum yang lebih berpihak pada korban.
Pada akhirnya, Woman from Rote Island tidak hanya sekadar sebuah karya seni, tetapi juga sebuah seruan untuk perubahan. Perempuan memiliki hak untuk hidup bebas dari ketidakadilan, dan sudah saatnya kita semua turut berperan dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Fen Budiman, Sekretaris Jendral Suluh Perempuan
Terkait
Puisi: Halmahera Murka
Fenomena Glass Ceiling
Veronika Tan: Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Harus Dilakukan Secara Inklusif Dan Setara Gender